Oleh : Ummu Mariah Iman Zuhair
Sumber: Majalah Qiblati edisi 4 Tahun 3
Aku akan meriwayatkan kepada anda kisah yang sangat berkesan ini, seakan-akan
anda mendengarnya langsung dari lisan ibunya.
Berkatalah ibu gadis kecil tersebut:
Saat aku mengandung putriku, Afnan, ayahku melihat sebuah mimpi di dalam
tidurnya. Ia melihat banyak burung pipit yang terbang di angkasa. Di antara
burung-burung tersebut terdapat seekor merpati putih yang sangat cantik, terbang
jauh meninggi ke langit. Maka aku bertanya kepada ayah tentang tafsir dari mimpi
tersebut. Maka ia mengabarkan kepadaku bahwa burung-burung pipit tersebut adalah
anak-anakku, dan sesungguhnya aku akan melahirkan seorang gadis yang bertakwa.
Ia tidak menyempurnakan tafsirnya, sementara akupun tidak meminta tafsir tentang
takwil mimpi tersebut.
Setelah itu aku melahirkan putriku, Afnan. Ternyata dia benar-benar seorang
gadis yang bertakwa. Aku melihatnya sebagai seorang wanita yang shalihah sejak
kecil. Dia tidak pernah mau mengenakan celana, tidak juga mengenakan pakaian
pendek, dia akan menolak dengan keras, padahal dia masih kecil. Jika aku
mengenakan rok pendek padanya, maka ia mengenakan celana panjang di balik rok
tersebut.
Afnan senantiasa menjauh dari segenap perkara yang membuat murka Allah. Setelah
dia menduduki kelas 4 SD, dia semakin menjauh dari segenap perkara yang membuat
murka Allah. Dia menolak pergi ke tempat-tempat permainan, atau ke pesta-pesta
walimah. Dia adalah seorang gadis yang perpegang teguh dengan agamanya, sangat
cemburu di atasnya, menjaga shalat-shalatnya, dan sunnah-sunnahnya. Tatkala dia
sampai SMP mulailah dia berdakwah kepada agama Allah. Dia tidak pernah melihat
sebuah kemungkaran kecuali dia mengingkarinya, dan memerintah kepada yang
ma’ruf, dan senantiasa menjaga hijabnya.
Permulaan dakwahnya kepada agama Allah adalah permulaan masuk Islamnya pembantu
kami yang berkebangsaan Srilangka.
Ibu Afnan melanjutkan ceritanya:
Tatkala aku mengandung putraku, Abdullah, aku terpaksa mempekerjakan seorang
pembantu untuk merawatnya saat kepergianku, karena aku adalah seorang karyawan.
Ia beragama Nasrani. Setelah Afnan mengetahui bahwa pembantu tersebut tidak
muslimah, dia marah dan mendatangiku seraya berkata: “Wahai ummi, bagaimana dia
akan menyentuh pakaian-pakaian kita, mencuci piring-piring kita, dan merawat
adikku, sementara dia adalah wanita kafir?! Aku siap meninggalkan sekolah, dan
melayani kalian selama 24 jam, dan jangan menjadikan wanita kafir sebagai
pembantu kita!!”
Aku tidak memperdulikannya, karena memang kebutuhanku terhadap pembantu tersebut
amat mendesak. Hanya dua bulan setelah itu, pembantu tersebut mendatangiku
dengan penuh kegembiraan seraya berkata: “Mama, aku sekarang menjadi seorang
muslimah, karena jasa Afnan yang terus mendakwahiku. Dia telah mengajarkan
kepadaku tentang Islam.” Maka akupun sangat bergembira mendengar kabar baik ini.
Saat Afnan duduk di kelas 3 SMP, pamannya memintanya hadir dalam pesta
pernikahannya. Dia memaksa Afnan untuk hadir, jika tidak maka dia tidak akan
ridha kepadanya sepanjang hidupnya. Akhirnya Afnan menyetujui permintaannya
setelah ia mendesak dengan sangat, dan juga karena Afnan sangat mencintai
pamannya tersebut.
Afnan bersiap untuk mendatangi pernikahan itu. Dia mengenakan sebuah gaun yang
menutupi seluruh tubuhnya. Dia adalah seorang gadis yang sangat cantik. Setiap
orang yang melihatnya akan terkagum-kagum dengan kecantikannya. Semua orang
kagum dan bertanya-tanya, siapa gadis ini? Mengapa engkau menyembunyikannya dari
kami selama ini?
Setelah menghadiri pernikahan pamannya, Afnan terserang kanker tanpa kami
ketahui. Dia merasakan sakit yang teramat sakit pada kakinya. Dia menyembunyikan
rasa sakit tersebut dan berkata: “Sakit ringan di kakiku.” Sebulan setelah itu
dia menjadi pincang, saat kami bertanya kepadanya, dia menjawab: “Sakit ringan,
akan segera hilang insya Allah.” Setelah itu dia tidak mampu lagi berjalan.
Kamipun membawanya ke rumah sakit.
Selesailah pemeriksaan dan diagnosa yang sudah semestinya. Di dalam salah satu
ruangan di rumah sakit tersebut, sang dokter berkebangsaan Turki mengumpulkanku,
ayahnya, dan pamannya. Hadir pula pada saat itu seorang penerjemah, dan seorang
perawat yang bukan muslim. Sementara Afnan berbaring di atas ranjang.
Dokter mengabarkan kepada kami bahwa Afnan terserang kanker di kakinya, dan dia
akan memberikan 3 suntikan kimiawi yang akan merontokkan seluruh rambut dan
alisnya. Akupun terkejut dengan kabar ini. Kami duduk menangis. Adapun Afnan,
saat dia mengetahui kabar tersebut dia sangat bergembira dan berkata:
“Alhamdulillah… alhamdulillah… alhamdulillah.” Akupun mendekatkan dia di dadaku
sementara aku dalam keadaan menangis. Dia berkata: “Wahai ummi, alhamdulillah,
musibah ini hanya menimpaku, bukan menimpa agamaku.”
Diapun bertahmid memuji Allah dengan suara keras, sementara semua orang melihat
kepadanya dengan tercengang!!
Aku merasa diriku kecil, sementara aku melihat gadis kecilku ini dengan kekuatan
imannya dan aku dengan kelemahan imanku. Setiap orang yang bersama kami sangat
terkesan dengan kejadian ini dan kekuatan imannya. Adapun penerjamah dan para
perawat, merekapun menyatakan keislamannya!!
Berikutnya adalah perjalanan dia untuk berobat dan berdakwah kepada Allah.
Sebelum Afnan memulai pengobatan dengan bahan-bahan kimia, pamannya meminta akan
menghadirkan gunting untuk memotong rambutnya sebelum rontok karena pengobatan.
Diapun menolak dengan keras. Aku mencoba untuk memberinya pengertian agar
memenuhi keinginan pamannya, akan tetapi dia menolak dan bersikukuh seraya
berkata: “Aku tidak ingin terhalangi dari pahala bergugurannya setiap helai
rambut dari kepalaku.”
Kami (aku, suamiku dan Afnan) pergi untuk yang pertama kalinya ke Amerika dengan
pesawat terbang. Saat kami sampai di sana, kami disambut oleh seorang dokter
wanita Amerika yang sebelumnya pernah bekerja di Saudi selama 15 tahun. Dia bisa
berbicara bahasa Arab. Saat Afnan melihatnya, dia bertanya kepadanya: “Apakah
engkau seorang muslimah?” Dia menjawab: “Tidak.”
Afnanpun meminta kepadanya untuk mau pergi bersamanya menuju ke sebuah kamar
yang kosong. Dokter wanita itupun membawanya ke salah satu ruangan. Setelah itu
dokter wanita itu kemudian mendatangiku sementara kedua matanya telah terpenuhi
linangan air mata. Dia mengatakan bahwa sesungguhnya sejak 15 tahun dia di
Saudi, tidak pernah seorangpun mengajaknya kepada Islam. Dan di sini datang
seorang gadis kecil yang mendakwahinya. Akhirnya dia masuk Islam melalui
tangannya.
Di Amerika, mereka mengabarkan bahwa tidak ada obat baginya kecuali mengamputasi
kakinya, karena dikhawatirkan kanker tersebut akan menyebar sampai ke paru-paru
dan akan mematikannya. Akan tetapi Afnan sama sekali tidak takut terhadap
amputasi, yang dia khawatirkan adalah perasaan kedua orang tuanya.
Pada suatu hari Afnan berbicara dengan salah satu temanku melalui Messenger.
Afnan bertanya kepadanya: “Bagaimana menurut pendapatmu, apakah aku akan
menyetujui mereka untuk mengamputasi kakiku?” Maka dia mencoba untuk
menenangkannya, dan bahwa mungkin bagi mereka untuk memasang kaki palsu sebagai
gantinya.
Maka Afnan menjawab dengan satu kalimat: “Aku tidak memperdulikan kakiku, yang
aku inginkan adalah mereka meletakkanku di dalam kuburku sementara aku dalam
keadaan sempurna.” Temanku tersebut berkata: “Sesungguhnya setelah jawaban
Afnan, aku merasa kecil di hadapan Afnan. Aku tidak memahami sesuatupun, seluruh
pikiranku saat itu tertuju kepada bagaimana dia nanti akan hidup, sedangkan
fikirannya lebih tinggi dari itu, yaitu bagaimana nanti dia akan mati.”
Kamipun kembali ke Saudi setelah kami amputasi kaki Afnan, dan tiba-tiba kanker
telah menyerang paru-paru!!
Keadaannya sungguh membuat putus asa, karena mereka meletakkannya di atas
ranjang, dan di sisinya terdapat sebuah tombol. Hanya dengan menekan tombol
tersebut maka dia akan tersuntik dengan jarum bius dan jarum infus.
Di rumah sakit tidak terdengar suara adzan, dan keadaannya seperti orang yang
koma. Tetapi hanya dengan masuknya waktu shalat dia terbangun dari komanya,
kemudian meminta air, kemudian wudhu’ dan shalat, tanpa ada seorangpun yang
membangunkannya!!
Di hari-hari terakhir Afnan, para dokter mengabari kami bahwa tidak ada gunanya
lagi ia di rumah sakit. Sehari atau dua hari lagi dia akan meninggal. Maka
memungkinkan bagi kami untuk membawanya ke rumah. Aku ingin dia menghabiskan
hari-hari terakhirnya di rumah ibuku.
Di rumah, dia tidur di sebuah kamar kecil. Aku duduk di sisinya dan berbicara
dengannya.
Pada suatu hari, istri pamannya datang menjenguk. Aku katakan bahwa dia berada
di dalam kamar sedang tidur. Ketika dia masuk ke dalam kamar, dia terkejut
kemudian menutup pintu. Akupun terkejut dan khawatir terjadi sesuatu pada Afnan.
Maka aku bertanya kepadanya, tetapi dia tidak menjawab. Maka aku tidak mampu
lagi menguasai diri, akupun pergi kepadanya. Saat aku membuka kamar, apa yang
kulihat membuatku tercengang.
Saat itu lampu dalam keadaan dimatikan, sementara wajah Afnan memancarkan cahaya
di tengah kegelapan malam. Dia melihat kepadaku kemudian tersenyum. Dia berkata:
“Ummi, kemarilah, aku mau menceritakan sebuah mimpi yang telah kulihat.”
Kukatakan: “(Mimpi) yang baik Insya Allah.” Dia berkata: “Aku melihat diriku
sebagai pengantin di hari pernikahanku, aku mengenakan gaun berwarna putih yang
lebar. Engkau, dan keluargaku, kalian semua berada disekelilingku. Semuanya
berbahagia dengan pernikahanku, kecuali engkau ummi.”
Akupun bertanya kepadanya: “Bagaimana menurutmu tentang tafsir mimpimu
tersebut.” Dia menjawab: “Aku menyangka, bahwasannya aku akan meninggal, dan
mereka semua akan melupakanku, dan hidup dalam kehidupan mereka dalam keadaan
berbahagia kecuali engkau ummi. Engkau terus mengingatku, dan bersedih atas
perpisahanku.” Benarlah apa yang dikatakan Afnan. Aku sekarang ini, saat aku
menceritakan kisah ini, aku menahan sesuatu yang membakar dari dalam diriku,
setiap kali aku mengingatnya, akupun bersedih atasnya.
Pada suatu hari, aku duduk dekat dengan Afnan, aku, dan ibuku. Saat itu Afnan
berbaring di atas ranjangnya kemudian dia terbangun. Dia berkata: “Ummi,
mendekatlah kepadaku, aku ingin menciummu.” Maka diapun menciumku. Kemudian dia
berkata: “Aku ingin mencium pipimu yang kedua.” Akupun mendekat kepadanya, dan
dia menciumku, kemudian kembali berbaring di atas ranjangnya. Ibuku berkata
kepadanya: “Afnan, ucapkanlah la ilaaha illallah.”
Maka dia berkata: “Asyhadu alla ilaaha illallah.”
Kemudian dia menghadapkan wajah ke arah qiblat dan berkata: “Asyhadu allaa
ilaaha illallaah.” Dia mengucapkannya sebanyak 10 kali. Kemudian dia berkata:
“Asyhadu allaa ilaaha illallahu wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah.” Dan
keluarlah rohnya.
Maka kamar tempat dia meninggal di dalamnya dipenuhi oleh aroma minyak kasturi
selama 4 hari. Aku tidak mampu untuk tabah, keluargaku takut akan terjadi
sesuatu terhadap diriku. Maka merekapun meminyaki kamar tersebut dengan aroma
lain sehingga aku tidak bisa lagi mencium aroma Afnan. Dan tidak ada yang aku
katakan kecuali alhamdulillahi rabbil ‘aalamin.
Read more...