#GazaUnderAttack

Powered by Blogger.

Tausiyah

Dari Abu Amr, -ada juga yang mengatakan- : Abu ‘Amrah, Sufyan bin Abdillah Ats Tsaqofi radhiallahuanhu dia berkata, saya berkata : Wahai Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, katakan kepada saya tentang Islam sebuah perkataan yang tidak saya tanyakan kepada seorangpun selainmu. Beliau bersabda: Katakanlah: saya beriman kepada Allah, kemudian berpegang teguh (istiqomahlah. (Riwayat Muslim)

"Tugas kita adalah menyalakan lilin, bukan mencela kegelapan" Anis Matta (Barang kali kita memang tidak bisa mengubah keadaan, tetapi bukankah kita bisa mengubah sikap dalam menghadapinya..)

"Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk” (QS. Al-Kahfi:13)

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah: 208)

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong pada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia)."(QS. Ali Imran : 8)

Twitter

#SavePalestine



Live Traffic Map

Live Traffic Feed

loading...

Wednesday, March 24, 2010

Open Recruitment Kepengurusan KIAS 12 Jakarta

Bismillahirrahmanirrahim..

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

"Dan hendaklah diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada kemakrufan, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
[QS. Ali Imran: 104]
Jama'ah adalah sarana yang paling tepat untuk menyederhanakan perbedaan orang-perorang. Kehebatan dan kecerdasan individu tidak akan pernah mengalahkan kecerdasan dan kehebatan kolektif. Dari sini, diharapkan timbul kesadaran bahwa tidak ada orang yang dapat melakukan segalanya atau menjadi segalanya.

Bersama dengan email ini telah dibuka:


OPEN RECRUITMENT KEPENGURUSAN KIAS 12 JAKARTA PERIODE 2010-2011 M/1431-1432 H

Syarat Calon Pengurus:

  • Terbuka untuk seluruh muslim alumni SMAN 12 Jakarta yang tertarbiyah atau bersedia ditarbiyah (mengikuti kegiatan mentoring/halaqah/liqo)
  • Bersedia mengikuti alur rekrutmen KIAS 12 Jakarta (FPT & Team Building yang insya Allah akan diselenggarakan pada: Jum'at, 2 April 2010. Tempat menyusul )
  • Berkomitmen untuk menyukseskan Dakwah SMAN 12 Jakarta

Caranya, ketik:


CP KIAS12#nama lengkap#nama panggilan#ikhwan/akhwat#angkatan#bidang yang diminati (struktur KIAS 12 terlampir bersama email ini).

Kirim ke:
0856 971 585 23

Jika Antum tergabung dalam jejaring sosial FaceBook, dapat pula mengunjungi Grup FaceBook "ROHIS-KIAS 12 Jakarta"

OR ini akan ditutup pada:

Rabu, 31 Maret 2010


So, Fastabiqul Khairat!!
Kami tunggu kontribusi Antum dalam ranah Da'wah sekolah kita tercinta..



_______________________________________________________________________________________________

Srtuktur KIAS 12 Jakarta Periode 2010-2011 M/1431-1432 H

Mas-ul: Akhuna Benni Zulmardi

Sekretaris

   Mengelola segala hal yang berkaitan dengan arsip-arsip (kesekretariatan) KIAS 12 Jakarta

Bendahara
   Mengelola keuangan KIAS 12 Jakarta

Biro Maisyah
   Mencari dan mengelola pemasukan (sumber dana potensial) bagi KIAS 12 Jakarta

Dept. Thulaby, terbagi atas:


  @Divisi Syi'ar
           Bekerjasama dengan siswa untuk menyemarakkan syi'ar Islam di SMAN 12 Jakarta

  @Divisi Nukhbawi (Kaderisasi)
           Bekerjasama dengan siswa dalam hal rekrutmen SDM aktivis

Dept. Tarbawi 
   Mengelola kegiatan tarbiyah (mentoring) di SMAN 12 Jakarta





Salam Jihad dan Semangat!!















"Barisan Jihad"
Munsyid : Izzatul Islam

Barisan jihad pemuda Islam
Baris maju mara kehadapan
Bersama seruan Allahu Akbar
Allahu Akbar, Allahu Akbar

Jadi syuhada itulah idaman
Menyambut panggilan utusan Allah
Tegakkan keadilan demi kebenaran
Hancurkan kemungkaran sepanjang zaman

Berbekal niat yang suci
Tegak tuhid diwajah bumi
Allah semata penentuan
Ridho-Nya murka-Nya tuk acuan
Segala kemampuan penuh kesungguhan
Hancurkan halangan melaju kedepan

Biar basah di bumi Allah
Dengan darah para syuhada
Biar merah berlumuran darah
Pantang mundur walau selangkah

Allahu akbar, Allah Maha besar
Majulah wahai barisan jihad
Ummat mulia warisan anbiya
Cintakan akhirat zuhudkan dunia
Read more...
separador

Tuesday, March 16, 2010

Beginilah Jalan Dakwah Mengajarkan Kami


(M. Lili Nur Aulia)

Untuk saudara-saudara kami di jalan dakwah , tulisan ini adalah catatan kecil dari perjalanan panjang kita. Agar kita lebih merasakan kesyukuran dan ketundukan kepada Allah SWT atas karunia-Nya kita berada dalam kebersamaan ini. Berbahagialah dan berbanggalah karena Allah telah memilih kita berada di jalan ini. Allah SWT telah mengistimewakan kita menerima nikmat berjama’ah dan ini adalah karunia terbaik yang kita terima setelah karunia keimanan kepada Allah SWT. Karunia yang tidak kita dapat karena nasab, status, harta maupun ilmu. Tapi ia semata-mata karunia Allah SWT Yang Maha Rahman, Yang menuntun langkah kita hingga sampai di sini, di jalan ini, pada detik ini. Allah SWT berfirman : Dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya.” (QS. Ali Imran : 103)
Nikmat ini tidak boleh direndahkan, diremehkan apalagi dipermainkan. Kita harus menjaga dan memelihara nikmat yang teramat agung ini. Dan kita wajib merasa khawatir andai nikmat itu hilang.
Ya Tuhan kami, jangan Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami dan karuniakanlah kepada kami rahmat di sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia). “ (QS Ali Imran : 8)

Dari Sini Kami Memulai
Jalan Dakwah mengajarkan bahwa kami memang membutuhkan dakwah. Kebersamaan dengan saudara-saudara di jalan ini semakin menegaskan bahwa kami harus hidup bersama mereka di jalan ini agar berhasil dalam hidup di dunia dan di akhirat “.

Mengapa Berada di Jalan Dakwah ?
 Kami ingin seperti para pendahulu kami di jalan ini yang telah banyak memperoleh pahala dan keridhaan Allah karena peran-peran dakwahnya. Dan karena itulah, kami memang sangat membutuhkan jalan ini, sebagai penyangga kebahagiaan dunia dan akhirat kami. Tidak heran, jika para penyeru kebaikan, menjadi alasan turunnya limpahan rahmat dan kasih sayang Allah SWT. Tak ada makhluk Allah yang dapat dukungan dan do’a seluruh makhluk-Nya kecuali mereka yang mengupayakan perbaikan dan berdakwah. Sebagaimana sabda Rasululllah SAW, “ Sesungguhnya Allah, para malaikat, semut yang ada di dalam lubangnya, bahka ikan yang ada di lautan akan berdo’a untuk orang yang mnegajarkan kebaikan kepada manusia. “ (HR. Tirmidzi)

Allah SWT menjelaskan tiga kelompok manusia dalam masalah ini. Mereka adalah, kelompok penyeru dakwah yang salih, kelompok salihin tapi tidak menyerukan dakwah dan orang-orang yang mengingkari dakwah. Allah SWT berfirman : “ Dan (ingatlah) ketika suatu kaum di antara mereka berkata: “ Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka menjawab: “ Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertaqwa. “ Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka. Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. “ (QS. Al A’raf 164-165)

Nash Al-Qur’an itu merupakan peringatan bagi kami. Bahwa meninggalkan peran dakwah, tidak pernah diterima apapun alasannya. Bahkan bisa jadi sikap tersebut menundang kemarahan Allah (Musafir fi Qithari ad Da’wah, Dr. Abdil Abdullah Al Laili, 195).

Ada pula hadits Rasulullah SAW yang lainnya, Abu Bakar RA mengatakan, “ Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “ Sesungguhnya manusia jika mereka melihat kemungkaran dan mereka tidak merubahnya, dikhawatirkan mereka akan diratakan oleh Allah SWT dengan azab-Nya”. (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Teman-Teman Pilihan
Hendaknya teman yang menemaninya dalam perjalanan itu adalah orang yang bisa membantunya dalam menjalankan prinsip agama, mengingatkannya tatkala lupa, membantu dan mendorongnya ketika ia tersadar. Sesungguhnya orang itu tergantung agama temannya. Dan seseorang tidak dikenal kecuali dengan melihat siapa temannya....” (Ihya ‘Ulumiddin, 2/202)
Kami dan Amal Jama’i
Realitas yang kami lihat sendiri bahwa manusia cenderung akan menjadi lemah ketika bekerja seorang diri.. Sebaliknya akan menjadi kuat dan berdaya ketika ia besama-sama dengan yang lain. Ada juga realitas lainnya, bahwa siapapun yang berusaha mewujudkan sesuatu, meskipun mereka telah ikhlas dalam melakukannya, tetapi tidak akan banyak memberi pengaruh untuk mewujudkan kondisi yang diinginkan jika ia melakukannya sendirian. Kesendiriannya itu menyebabkan upaya yang mereka lakukan menjadi lemah dan minim efeknya.

Bekerja untuk Islam mutlak memerlukan sebuah organisasi, perlu adanya pimpinan yang bertanggung jawab, membutuhkan adanya pasukan dan anggota yang taat, harus memiliki peraturan mendasar yang mengikat dan menata hubungan antara pimpinan dan anggota, harus ada yang membatasi tangung jawab dan kewajiban, menjelaskan tujuan dan sarana serta semua yang diperlukan oleh suatu aktifitas dakwah dalam merealisasikan tujuannya. Dalam kebersamaan itulah kami menempuh jalan dakwah ini.
Perjalanan ini Mutlak Memerlukan Pemimpin
Hendaknya suatu perjalanan dipimpin oleh orang yang paling baik akhlaknya, paling lembut dengan teman-temannya, paling mudah terketuk hatinya dan paling mungkin dimintakan persetujuannya untuk urusan penting. Seorang pemimpin dibutuhkan karena pandangannya yang beragam untuk menentukan arah perjalanan dan kemaslahatan perjalanan. Tidak ada keteraturan tanpa kesatuan pengaturan. Alam ini menjadi teratur karena pengatur alam semesta ini adalah satu.” (Ihya Ulumiddin, 2/202)

Kami telah mempercayai para pemimpin itu sebagai pemandu perjalanan kami. Maka, setelah proses syuro berlangsung, apapun keputusannya, itulah yang akan kami pegang untuk dijalankan. Kami yakin, keputusan syuro itu tidak pernah keliru. Dan keputusan itu bersifat Multazam (Mengikat).

Meskipun mungkin saja akibat pelaksanaan satu keputusan syuro memunculkan situasi yang tidak maslahat. Tapi sebuah keputusan yang dilandasi dengan syuro tidak pernah salah. Itulah yang juga disampaikan kepada kami oleh Ustadz Sa’id Hawa rahimahullah, bahwa hasil syuro tidak pernah salah. Karena mekanisme itulah yang dijabarkan oleh Islam untuk menentukan langkah yang dianggap paling benar. Jika pada akhirnya, keputusan itu ternyata tidak memberikan kesudahan seperti yang diharapkan, maka proses syuro kembali yang akan menindaklanjuti kekeliruan itu.

Jalan ini, Miniatur Perjalanan Sesungguhnya
Kebersamaan kami bukan tanpa perselisihan. Boleh jadi ada di antara kami yang mengalami kesenjangan hubungan karena satu dan lain hal. Padahal, keharusan kami untuk bersama dan kemungkinan kami berselisih, adalah dua kutub yang saling berlawanan. Kebersamaan membutuhkan kesepakatan, kekompakan, kesesuaian, kedekatan dan keintiman. Sementara perselisihan bisa mengaktifkan kesenjangan, ketidaksukaan, kebencian, hingga keterpisahan.

Tiga Karakter Penempuh Perjalanan
Kelompok Zaalimun Li Nafsihi, adalah orang-orang yang lalai dalam memepersiapkan bekal perjalanan. Mereka enggan untuk mengumpulkan apa-apa yang membuatnya sampai tujuan.

Kelompok Muqtashid, adalah mereka mengambil bekal secukupnya saja untuk bisa sampai ke tujuan perjalanan. Mereka tidak memperhitungkan bekal apa yang harus dimilki dan mereka bawa jika ternyata mereka harus menghadapi situasi tertentu, yang menyulitkan perjalanannya.

Kelompok Saabiqun Bil Khairaat, yakni orang-orang yang obsesinya adalah untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Mereka membawa perbekalan dan barang dagangan lebih dari cukup karena mereka tahu hal itu akan memberi keuntungan besar baginya. Selain itu mereka juga tahu bahwa di tengah perjalanan ini, sangat mungkin mereka mengalami situasi sulit yang membutuhkan perbekalan tambahan.  (Thariqul Hijratain, 236).

Begitu pentingnya, bekal ketaqwaan yang erat kaitannya dengan modal ruhiyah kami di jalan ini, maka setiap kali ketaqwaan kami melemah, pada saat itu intensitas dakwah kami menurun. Dan ketika tingkat ketaqwaan kami berkurang dari seharusnya, ketika itulah kami mengalami situasi futur (kelemahan) untuk meneruskan perjalanan ini. Seperti itulah pelajaran yang kami temukan dalam diri kami, dan juga saudara-saudara kami di jalan ini.

Ketika Kami Membangun Kebersamaan
Tak semua batu bata diletakkan pada posisi yang tinggi, dan tidak juga harus semuanya ada di bawah. Bahkan terkadang si tukang batu, akan memotong batu bata tertentu jika dibutuhkan untuk menutup posisi batu bata yang masih kosong guna melengkapi bangunannya.”

Menjadi Batu Bata dalam Bangunan ini
Kebersamaan kami di jalan ini adalah karena kehendak kami untuk ambil bagian dalam bangunan besar ini. Maka, sebagaimana proses membangun sebuah bangunan pada umumnya, tukang batu pasti akan memilah-milah batu bata mana yang akan ia tempatkan pada bangunannya. Tak semua batu bata diletakkan pada posisi yang tinggi, dan tidak juga harus semuanya ada di bawah. Bahkan terkadang si tukang batu, akan memotong batu bata tertentu jika dibutuhkan untuk menutup posisi batu bata yang masih kosong guna melengkapi bangunannya.

Batu Bata yang Unik dan Khas Jalan ini
Para sahabat dan salafus sholeh menerima dan mengejar kekhususan itu agar memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah SWT. Di jalan dakwah ini, kami memiliki saluran yang amat banyak untuk mewujudkan kekhususan yang kami miliki dengan berkontribusi di jalan ini. Kami memetik hikmah dari perjalanan mereka, dan kami berharap semoga jalan dakwah ini bisa memproses kami hingga kami memiliki amal-amal unggulan yang menjadi keistimewaan kami di sisi Allah melalui jalan ini.

Untuk Menolong, Bukan Ditolong
 Sesungguhnya di jalan inilah kami semakin mendalami makna kehidupan yang bersumber dari keberartian bagi orang lain. Kehidupan seseorang menjadi lebih berharga ketika ia mempunyai saham dan peran bagi orang lain. Dan kehidupan akan menjadi miskin makna dan rendah nilainya ketika hanya banyak bermanfaat bagi lingkup pribadi. Filosofi inilah yang menyebabkan kami menikmati kesibukan berpikir dan melakukan banyak aktifitas dakwah di antara kesibukan lain yang menyertai kami. Di sini, kami lebih merasakan pengaruh firman Allah “ Jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia (Allah) menolong kalian dan mengokohkan pijakan kaki kalian.” (Muhammad 9)
Kebersamaan Kami Terikat Lima Hal
Pertama, Rabithatu al ‘aqidah (Ikatan Aqidah). Tali ikatan aqidah islamiyah yang menyatukan kami dengan jalan ini. Kesamaan imanlah yang menghimpun dan mengikat kami bersama saudara-saudara kami di sini.

Kedua, Rabithatu al fikrah (ikatan pemikiran). Sejak awal, kebersamaan kami di jalan ini memang dibangun oleh kesamaan cita-cita dan pemikiran. Kami disatukan oleh kesamaan ide, gagasan, keinginan dan cita-cita hidup yang kami yakini merupakan sarana yang bisa menyampaikan kami kepada keridhaan Allah SWT.

Ketiga, Rabithatu al ukhuwwah (ikatan persaudaraan). Tak ada yang melebihi warna jiwa kami setelah keimanan kepada Allah, kecuali suasana persaudaraan karena Allah SWT di jalan ini. Kami di jalan ini, terikat dengan ruh persaudaraan yang tulus. Ruh persaudaraan yang tersemai melalui kebersamaan kami berjalan dan memenuhi banyak tugas-tugas dakwah yang kami jalani. Kami berharap, persaudaraan kami di jalan ini adalah seperti yang digambarkan oleh Rasulullah, tentang golongan orang-orang yang dinaungi Allah di hari kiamat. Di mana salah satu golongan itu adalah : Orang yang saling bercinta karena Allah, bertemu karena Allah dan berpisah karena Allah SWT.

Keempat, Rabithatu at tanzhim (ikatan organisasi). Perencanaan dan keteraturan langkah-langkah kami di jalan ini, sudah tentu menandakan kami harus pula memiliki sebuah organisasi yang mengatur kami. Dalam organisasi dakwah ini, berlakulah ketentuan sebagaimana orang yang bekerja di dalam sebuah perusahaan, dan harus terikat dengan ragam peraturan yang diberlakukan. Seperti itulah kebersamaan kami di jalan ini.

Kelima, Rabithatu al ‘ahd (ikatan janji). Dijalan ini, kami masing-masing telah mengikrarkan janji. Janji yang paling minimal adalah janji yang tercetus dalam hati kami, dalam diri kami sendiri, kepada Allah SWT. Atau bahkan, juga janji kepada saudara-saudara perjalanan untuk tetap setia dan mendukung perjuangan. Kami terikat dengan dua jenis janji itu.

Yang Melemahkan Ikatan dalam Amal Jama’i
Mengetahui sebab-sebab orang yang meninggalkan amal jama’i bukan perkara mudah. Terlebih bila yang bersangkutan tidak berterus terang tentang latar belakang sikapnya. Perlu pendekatan yang bertahap, sungguh-sungguh, hingga akhirnya bisa ditemukan penyebabnya dan dicarikan jalan keluarnya.

Dalam hal ini, tentu saja musharahah (keterusterangan) serta kejujuran menjadi penting bagi kami dan saudara-saudara kami. Sesungguhnya kepercayaan antara kami akan semakin terbentuk kuat dengan adanya keterusterangan ini. Dari keterusterangan, semua persoalan bisa dicari pangkal masalahnya.

Tsiqah, sebagai Maharnya
Jika kesatuan barisan umat ini dibangun dengan mempersatukan keyakinan, mempersatukan hati, mempersatukan niat, mempersatukan tujuan, dan mempersatukan manhaj (jalan hidup), yang semuanya mengacu pada Al Qur’an dan As Sunnah, maka kebangkitan dan kemenangan umat Islam akan semakin dekat kita raih.
Promosi Penempatan di Jalan Dakwah
Pertama, kami harus bertanya lebih dahulu kepada diri sendiri. Mengapa kami di sini? Untuk siapa amal yang kami lakukan? Dan apa yang kami kehendaki dengan amal ini? “ Barang siapa berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka orang itu berada di jalan Allah.”

Kedua, kami harus menunaikan tugas yang telah dibebankan dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai ketidakpuasan terhadap posisi tertentu membuat malas menunaikan tugas dan kewajiban.

Ketiga, kami harus membiasakan untuk menunjukkan keahlian dan memperkenalkannya dengan baik kepada pemimpin dan saudara-saudara di jalan ini. Tidak memendam pendapat yang menurut kami bermanfaat, meskipun pendapat pimpinan berbeda.

Keempat, terus terang kepada sesama saudara dan pimpinan tentang permasalahan yang ada kaitannya dengan dakwah dan mengusik. Garis lurus itu biasanya lebih dekat dengan kedua titik. Maka ketika kami mengeluarkan uneg-uneg, garis itu menjadi lurus dan membuat kami tenang. Di samping itu, permasalahan menjadi jelas bagi semuanya. Namun jika masalah itu dipendam, tentu kegundahan kian membesar dan bercabang sehingga syetan pun beraksi untuk membesarkannya lagi dengan godaan dan bisikannya. Kami jadi terbakar dari dalam. Lalu hal itu akan mengganggu keimanan dan kejiwaan kami.

Kelima, selalu berharap kepada Allah melalui doa dalam sholat, sujud dan waktu-waktu mulia agar dikaruniakan amal salih yang mendekatkan kita kepada-Nya. Juga agar Allah menuntun kita untuk melakukan kebaikan, kebenaran, dan merubah kami menjadi lebih baik. Agar kami diselamatkan dari fitnah kedudukan dan kepemimpinan di mana kami tidak mampu menunaikannya.

Perjalanan Beraroma Semerbak
Dalam hidup ini, setiap orang mempunyai kelompok dan jamaahnya sendiri-sendiri. Dan setiap kelompok mempunyai simbol dan syiarnya sendiri-sendiri. Tapi setiap orang, jika tidak diikat dan dihimpun oleh al-haq, maka ia akan tercerai berai oleh kebatilan. “

Indahnya Kebersamaan di Jalan Dakwah
 Boleh saja orang menganggap keterikatan kami di jalan ini, membawa kerugian materiil untuk kami. Itu karena mereka melihat, banyak energi yang kami kontribusikan untuk kepentingan perjuangan kami di jalan ini. Silahkan saja, jika ada orang yang memandang kami sebagai orang yang tak beruntung karena meluangkan banyak rentang waktu untuk kepentingan orang lain, sementara diri kami sendiri tampak belum mapan. Tapi sebenarmya, melalui jalan ini, kami justru mendapatkan suatu hal yang lain.

Kewajiban Memang Lebih Banyak dari Waktu
Kami mengerti, tanpa terget-target seperti ini dan tanpa evaluasi yang dilakukan bersama saudara-saudara kami di jalan ini, kami akan terbunuh oleh waktu luang yang kami miliki. Kami juga mengerti bahwa tanpa hambatan kegiatan dakwah yang kami dapatkan di jalan ini, waktu-waktu hidup kami menjadi lebih mungkin terisi dan disibukkan oleh urusan-urusan yang bathil. Karena itulah jalan dakwah telah menolong kami.

Agenda di jalan dakwah begitu banyak mengisi hari-hari kami. Sampai-sampai, tidak sedikit para penempuh jalan ini, yang merasakan kurangnya jumlah hari dalam satu pekan, disebabkan banyaknya kegiatan yang akan mereka lakukan. Di jalan dakwahlah kami lebih mengerti dan menghayati ungkapan Imam Hasan Al Banna rahimahulullah, “al waajibaat aktsaru minal awqaat”. Bahwa kewajiban itu lebih banyak ketimbang waktu yang tersedia.

Memetik Buah Manfaat dari Kelebihan Saudara
Maka, di jalan inilah kami lebih tajam membaca variasi kelebihan-kelebihan itu. Di jalan ini kami merasakan pantulan cermin dari keistimewaan itu, dan mencoba menghayati sabda Rasulullah SAW tentang pintu-pintu surga.

Atmosfer Kesalihan dari Saudara Shalih
Pertemuan kami dengan mereka, ternyata membawa pengaruh ruhaniyah yang begitu hebat. Kami bisa merasakan suplay energi ruhiyah yang besar saat kami bertemu dan berinteraksi dengan mereka. Kami merasakan adanya suasana batin yang baru, yang mendorong dan memotivasi kami untuk lebih banyak melakukan amal-amal shalih. Perasaan itu, bahkan muncul tanpa mereka harus memberikan nasihat dan tausiyahnya untuk kami. Karena kami sudah biasa merasakan pengaruh aura keshalihan itu, sejak kami melihat, mendengar suara mereka. Sebagaimana Yunus bin Ubaid mengakui kenikmatan besar ketika melihat Al Hasan Al Bashri rahimahulullah. Ia mengatakan “Seseorang bila melihat kepada Al Hasan Al Bashri, akan menerima manfaat dari dirinya, meski orang itu tidak melihat Al Hasan Al Bashri beramal dan tidak melihat ia mengeluarkan ucapan apapun.” (Risalah Al Mustarsyidin, Abi Abdillah Al Haris Al Muhasibi, Hal.60).

Amal Shalih yang Tersembunyi
Pertama, tatkala dalam perkumpulan itu, satu sama lain saling menghiasi dan membenarkan.
Kedua, ketika dalam perkumpulan itu pembicaraan dan pergaulan antar mereka melebihi kebutuhan.
Ketiga, ketika pertemuan mereka menjadi keinginan syahwat dan kebiasaan yang justru menghalangi mereka dari tujuan yang diinginkan. (Al Fawa-id, 60).

Pemimpin yang adil, orang yang hatinya terkait dengan mesjid ketika ia sedang berada di luar masjid sampai ia kembali ke masjid, dua orang yang saling mencinta karena Allah bertemu karena Allah dan berpisah karena Allah, orang yang berdzikir kepada Allah dalam kondisi seorang diri hingga kedua air matanya menangis, orang-orang yang dipanggil oleh seseorang wanita kaya dan cantik tapi orang tersebut mengatakan: “ Sesungguhnya aku takut kepada Allah rabbul ‘Alamiin”, dan orang yang bersedekah tapi ia menyembunyikan amalnya sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. (HR Bukhari Muslim).

Amal Shalih Harus Tetap Ditampilkan
Pertama, amal-amal shalih yang diperintahkan Allah swt tidak boleh terhalang karena kekhawatiran riya. Allah swt tetap memerintahkan amal salih itu tetap dilakukan, dengan tetap berupaya ikhlas saat melakukannya.
Kedua, prinsip yang dipegang para salafushalih, adalah penilaian atas yang lahir, tidak menghukumi yang tidak terlihat. Seperti perkataan Umar bin Khattab ra, “Barang siapa yang kami lihat ia melakukan kebaikan, maka ia akan kami sukai. Dan barang siapa yang kami lihat ia melakukan keburukan, kami benci. Meskipun ia mengatakan bahwa dibalik yang lahir itu adalah kebaikan.”
Ketiga, keraguan menampilkan dan melakukan amal-amal shalih karena riya, akan menambah tekanan bagi orang-orang yang melakukan amal shalih.
Keempat, tuduhan dan anggapan bahwa kebaikan adalah riya, adalah perilaku orang-orang munafiq. 

Membina Orang Lain Sama dengan Diri Sendiri
Tapi di sisi lain, ternyata interaksi kami dalam jalan dakwah dan upaya kami mengkader serta membina para objek dakwah, mengharuskan kami untuk terus bercermin dan berhati-hati. Kami tidak boleh ceroboh dan mudah melemah. Karena kami tahu dan semakin menyadari bahwa keberhasilan dakwah selalu merupakan turunan dari adanya qudwah dalam kaderisasi dakwah yang kami jalankan. Pelajaran ini bukan hanya kami pelajari dari teori “An naas ‘alaa diini muluukihim” (manusia itu tergantung agama rajanya), tapi kami rasakan langsung dalam aktifitas dakwah dan pembinaan. Maka dari sinilah kami memperoleh pelajaran besar dari keberadaan kami di jalan dakwah. Mendakwahkan orang lain, pada dasarnya adalah mendakwahkan diri sendiri. Menasehati orang lain adalah pada dasarnya menasehati diri sendiri. Membina orang lain di jalan ini, sama dengan membina diri sendiri.

Berpikir Negatif Melemahkan dan Menghancurkan Semangat
Kami berusaha membicarakan yang baik-baik tentang saudara-saudara kami. Dan berupaya meminimalisir pembicaraan tentang aspek negatif tentang saudara-saudara kami. Sebagaimana ribuan halaman dan ratusan jilid kitab para ulama yang menceritakan kehidupan para sahabat Rasulullah saw serta salafushalih, yang sangat sedikit menceritakan sisi negatif kehidupan mereka, kecuali dalam konteks memberi ibrah dan pelajaran berharga. Para salafushalih, sangat jarang membicarakan kekurangan sahabat dan orang-orang yang mereka kenal. Tentu bukan karena mereka adalah orang-orang suci yang tidak mempunyai catatan negatif, tapi seperti itulah salah satu wujud persaudaraan para salafushalih. Dan karena sikap mereka itulah, yang memompa keyakinan kami serta mendorong semangat dakwah kami.

Ketika Melewati Jalan Mendaki
Begitulah, jalan dakwah ini mengajarkan bahwa sebaiknya kami melihat kepada diri kami terlebih dahulu, melakukan prasangka baik kepada orang lain, sampai jelas suatu kebenaran itu benar dan kesalahan itu kesalahan.

Mengkaji yang Tersirat dari yang Tersurat
Tapi, pelajaran dakwah ini mengajarkan kami, bahwa langkah pertama yang kami lakukan saat kami mendapatkan situasi yang tidak kondusif dalam kebersamaan ini adalah, memeriksa diri kami terlebih dahulu. Kami tidak mensakralkan kelompok tertentu, atau individu tertentu, tapi kami juga tidak terbiasa meratakan kesalahan atas seluruh kelompok anggota tertentu. Tidak semua individu dalam satu kelompok harus bertanggung jawab atas kekeliruan beberapa individu dalam kelompok tersebut, meskipun kelompok yang keliru itu adalah termasuk jajaran pimpinan di dalamnya. Kami tidak berdiri di atas prinsip “pemimpin selalu benar”. Maka, disaat kami atau ada saudara-saudara kami merasakan kekecewaan bahkan kebencian karena perilaku saudara-saudaranya yang lain di jalan ini, hendaknya tidak menggeneralisir kekeliruan itu pada seluruh individu dalam perjalanan ini. Tidak semua mereka melakukan kesalahan, karena mungkin sekali itu adalah kesalahan individu yang bisa dihitung oleh jari tangan. Dan itu jugalah yang terjadi di zaman sahabat radiyallahu anhu. Kesalahan individu mereka juga tidak melepaskan kehormatan dan kemuliaan generasi sahabat secara keseluruhan yang penuh dengan kebaikan bahkan menjadi simbol keutamaan generasi yang terbaik.

Begitulah, jalan dakwah ini menhajarkan kami sebaiknya kami melihat kepada diri kami terlebih dahulu, melakukan prasangka baik kepada orang lain, sampai jelas suatu kebenaran itu benar dan kesalahan itu kesalahan. Dan jika keburukan yang kami duga itu benar, maka kami harus menempuh mekanisme penyampaian nasihat dengan baik dan benar. Dengan memilih kalimat yang baik, memilih waktu dan tempat yang tepat, menampakkan rasa cinta dan keikhlasan yang tulus, dan semacamnya.

Antara Objektivitas dan Sakralisme
Menghadapi kemungkaran yang terjadi dalam sebuah organisasi dakwah harus dilakukan secara bertahap, terprogram dan diteliti permasalahannya. Bukan dengan mengembangkan wacana untuk meninggalkan organisasi dakwah yang sebenarnya kami yakin bahwa organisasi itu merupakan jalan kebenaran. Jalan kebenaran tidak boleh kami tinggalkan dengan alasan adanya personil yang tidak sejalan dengan misi kebenaran itu. Karena kami menyimpulkan bahwa lari dari kewajiban meluruskan dan memperbaiki, dengan meninggalkan jamaah dakwah, itu sama sekali tidak memberi maslahat untuk mengusir kerusakan yang ada. Situasinya mirip dengan seseorang dokter yang lari meninggalkan tugas mulianya mengobati pasien yang sedang sakit.

Kesalahan adalah Resiko sebuah Aktivitas
Kesalahan substansial justru terjadi ketika seorang dai mundur dari aktivitas dakwah dan berdiam diri dengan alasan memelihara diri agar tidak menyeleweng dari ajaran Allah. Padahal sebenarnya kemunduran dan diamnya adalah kesalahan dan penyelewengan dari ajaran Allah SWT. Tentu saja kekeliruan itu tetap kami sikapi secara benar. Dalam arti, kekeliruan seorang saudara harus diluruskan dengan adab dan cara-cara yang baik. Dengan tujuan baik, metode yang baik, obkjektivitas dan dengan kelapangan dada di antara kami (penasehat maupun yang dinasehati).

Mundur dari Dakwah, Mungkinkah???
Jika olahragawan bisa mengalami masa pensiun karena usianya yang renta dan kekuatan fisiknya yang melemah. Jika seorang pegawai akhirnya menemui saat pensiun karena usianya telah melewati batas ketentuan umum kepegawaian. Jika seorang artis harus meninggalkan pentas karena keterampilan dan keindahan aktingnya telah digerogoti usianya. Tapi para juru dakwah, tidak mengenal kamus pensiun dan berhenti dari panggung dakwahnya. Kami dan saudara kami di jalan ini tidak mengetahui ada kondisi yang mengharuskan kami mundur dari gelanggang dakwah karena faktor usia, kemampuan fisik yang menurun, pikiran yang sulit difungsikan secara maksimal, atau bahkan karena kondisi eksternal yang memaksa kami untuk mundur. Singkatnya, kondisi apapun tidak akan menyebabkan kami ‘uzlah atau pergi meninggalkan jalan ini.

Nasihat adalah Tiang Penyangga
Nasihat, kritik, teguran, aspirasi, benar-benar kami perlukan di jalan ini. Siapapun kami. Kami tidak membayangkan andai perjalanan ini berlalu tanpa ada teguran, nasihat, kritik, yang sampai kepada kami. Sesungguhnya mendegarkan nasihat, teguran, maupun kritik itu adalah pahit. Tapi keberadaannya seperti seseorang memakan obat yang tidak enak. Sedangkan manfaatnya adalah pelurusan dan keinsyafan. Sesungguhnya hak yang wajib ditunaikan dari persaudaraan adalah bersungguh-sungguh menyampaikan nasihat dan saling melarang yang tidak baik untuk memelihara kebenaran di antara dua saudara.

Demikianlah, keterpeliharaan persaudaraan kami justru ditopang oleh nasihat. Jika kami mengabaikan nasihat, persaudaraan kami justru akan mudah hancur. Kami di jalan ini, harus berusaha lapang menerima kritikan, masukan, nasihat, dari sesama saudara. Dan kami di jalan ini, juga harus mampu menyampaikan nasihat, kritikan, masukan dengan adab-adabnya untuk saudara-saudara kami.

Kesejukan yang Meringankan Langkah
Keletihan itu, akan menjadi beban ketika kami merasakannya sebagai keletihan fisik yang tidak diikuti oleh keyakinan ruhiyah. Maka sesungguhnya kesempitan di jalan ini, pasti menyimpan hikmah luar biasa yang akan tercurah dalam bentuk rahmat Allah swt.

Saling berdo’a di antara sepi
Jalan dakwah membawa kami tiba di sebuah komunitas do’a. Perkumpulan orang-orang beriman yang saling mendo’akan. Di mana kami mendo’akan saudara-saudara kami. Kemudian saudara-saudara kami pun mendo’akan kami. Inilah persekutuan do’a yang luar biasa, karena kami semua memerlukan do’a dari siapapun, terlebih orang-orang beriman dan shalihin. Kami yakin dengan firman Allah swt. “ Dan Dia memperkenankan (doa) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal yang saleh dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya (QS Asy Syu’ara : 26).

Keberkesanan Membaca Sirah Orang-orang Shalih
Keterpengaruhan ini sesungguhnya sulit dirasakan oleh mereka yang tidak berada di jalan dakwah. Di antara kami, ada yang sungguh-sungguh tenggelam dalam alur perjuangan mereka sehingga memotivasi kami secara kuat untuk terus berjalan dan melanjutkan perjuangan mereka di atas jalan dakwah. Kami merasakan bahwa apa yang kami alami, adalah bagian dari mata rantai perjuangan yang juga mereka perjuangkan. Jengkal demi jengkal langkah kami, seperti bagian dari perjalanan panjang para pejuang itu hingga menjadikan kami kuat dan bertahan untuk melanjutkan perjalanan.

Kesulitan yang Menambah Kekuatan
Imam Hasan Al banna menjelaskan tentang karakteristik pejuang dakwah adalah orang-orang yang tidak tidur sepenuh kelopak matanya, makan seluas mulutnya, tertawa selebar rahangnya dan menunaikan waktunya dalam senda gurau permainan yang sia-sia. Jika itu yang terjadi, mustahil ia termasuk orang-orang yang menang atau orang-orang yang tercatat sebagai barisan mujahidin. Aku bisa menggambarkan karakter seorang mujahid adalah orang yang telah menyiapkan perbekalan dan persiapannya, yang selalu memikirkan terhadap dakwah yang ada di setiap sudut jiwanya, dan memenuhi relung hatinya. Ia selalu dalam kondisi berfikir, sangat perhatian untuk berdiri di atas kaki yang siap sedia. Jika diseru ia menjawab atau jika dipanggil ia memenuhi panggilan. Langkahnya, ruhnya, bicaranya, kesungguhannya, permainannya selalu berada dalam lingkup medan dakwah yang ia persiapkan dirinya untuk itu.

Bangga dengan Amal Shalih
Kami memperhatikan sabda Rasulullah saw yang memuji kehadiran orang-orang aneh. “Pada awalnya Islam datang sebagai sesuatu yang aneh dan akan kembali menjadi sesuatu yang aneh . Maka beruntunglah orang-orang yang aneh (al ghuraba). “ Para sahabat bertanya, “Siapakah orang-orang aneh itu, wahai Rasulullah?” Ia menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang melakukan perbaikan ketika manusia berada di dalam kerusakan.” (HR. Muslim).
Menjadi hiduplah nasihat Ustadz Mushtafa Mahsyur dalam jiwa kami. “Jika anda ragu bekerja karena gentar menghadapi kritikan, pasti anda tidak akan bisa bekerja selama-lamanya. Tetapi kerjakanlah apa yang anda yakini kebenarannya, jelas kegunaannya, diridhai oleh Rabbmu dan terpuji di kalangan para ulama yang ikhlas, meskipun anda dibenci dan dimaki sepanjang hidupmu oleh para pendengki, tetapi di antara mereka pasti ada yang senang kepada anda setelah anda meninggal dunia (Mushtafa As Siba’i, Hakadzaa allamatni al hayaah).

Potensi Besar yang Tersingkap di Jalan Ini
Berapa banyak di antara kami, yang sebelumnya merupakan pribadi yang tak menghargai diri dan tidak mengenal potensi dirinya, tapi kemudian di jalan ini kami menemukan perkembangan potensi diri yang lain, yang sangat kami syukuri. Kedekatan kepada Allah di jalan ini telah membuka saluran-saluran amal dan kontribusi kebaikan yang begitu banyak, lalu membuka kesempatan kami melakukan kebaikan apapun sesuai potensi yang ada. Kami tidak membayangkan, apa jadinya kami bila tidak berada di jalan ini.

Bergerak Karena Diri Sendiri Bukan Orang Lain
Tidak, Kami adalah da’i yang telah memilih jalan dakwah ini sebagai pijakan kaki kami. Sosok figur mungkin saja mempesona kami untuk lebih giat melakukan banyak kontribusi di jalan ini. Tapi bukan itu yang dominan dalam hati kami. Sosok figur juga bisa melakukan kesalahan, dan kesalahan itu juga tidak membuat kami tertahan atau meninggalkan jalan ini. Karena kami telah memilih untuk melangkah di atas kaki kami sendiri, di atas pemahaman dan keyakinan lubuk hati kami sendiri. Ya, sekali lagi, karena kami sendiri yang telah memilih jalan ini.

Peristirahatan, Bernama Terminal Canda
Menempuh perjalanan dakwah, meninggalkan pelajaran pada kami tentang kebutuhan jiwa untuk beristirahat dan tertawa, namun tetap pada porsi dan batasan etikanya. Pertemuan kami dengan sesama saudara di jalan ini, hampir selalu diwarnai dengan senyum dan tertawa. Meskipun begitu, pembahasan yang memerlukan keseriusan berpikir dan ketegasan berpendapat, tidak terganggu oleh dinamika canda dan tertawa kami. Kami merasakan, canda-canda yang berkembang di antara kami bisa memberi energi baru yang mencerahkan jiwa dan pikiran. Bahkan bisa juga berfungsi untuk menghilangkan kebekuan, mencairkan hubungan, mendekatkan kembali ikatan batin yang mungkin saja mulai ternoda oleh debu perjalanan. Senyum dan tertawa, memberikan kesejukan tersendiri dalam ruang kebersamaan kami di jalan ini.

Kami ingin senyum dan tawa dalam kebersamaan ini seperti yang dikatakan Ibnu Umar ra tentang sahabat Rasulullah saw. Ketika ia ditanya, “Apakah para sahabat Rasulullah itu tertawa?” Ibnu Umar menjawab, “Ya, mereka tertawa, tapi keimanan dalam hati mereka laksana gunung yang kokoh.”

Perjalanan ini Tidak Boleh Terhenti
Setelah kesulitan melakukan amar ma’ruf dan nahyul mungkar. Setelah menumpahkan segenap upaya, kesabaran dan lipatan kesabaran. Kami harus tetap bertahan dan meneruskan perjalanan ini. Kami tidak boleh tergelincir akibat orang-orang yang tergelincir dari jalan ini. Kami tidak boleh tertipu dengan kekuatan kebatilan, karena kebenaran akan tetap eksis. Jalan ini menunjukkan fakta kepada kami, bahwa perjalanan bersama kebatilan hanya bergulir satu masa. Sementara perjalanan bersama kebenaran itu akan berlangsung hingga akhir masa.

Tidakkah kalian perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik. Akarnya teguh, dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat” (QS Ibrahim :25)





Wallahua’lam Bish Showaf
Oleh: M. Lili Nur Aulia
Read more...
separador

Menunaikan Amanah Kepemimpinan

Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA

Dakwatuna.com__“Sesungguhn
ya Allah menyuruh kamu sekalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu dan sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (An-Nisa’ : 58).

Ayat ini meskipun menggunakan redaksi yang umum “kepada kamu sekalian”, namun secara lebih khusus pembicaraan ayat ini ditujukan kepada para pemimpin dan penguasa seperti yang dipahami oleh Muhammad bin Ka’ab dan Zaid bin Aslam yang dinukil oleh Ibnu Katsir.

Pemahaman seperti ini sangat tepat, karena merekalah yang memiliki amanah yang besar untuk ditunaikan sehingga mereka diminta untuk menjaga amanah dan pemerintahan tersebut dengan benar dan adil. Jika amanah dan keadilan disia-siakan, maka umat manusia akan binasa dan negeri ini akan hancur.

Rasulullah saw mengingatkan dalam sebuah haditsnya, “Bila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya. Dikatakan, bagaimana bentuk penyia-nyiaannya?. Beliau bersabda, “Bila persoalan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya”. (Bukhari dan Muslim).

Sayid Quthb dalam tafsir fi Dzilalil Qur’an menyimpulkan bahwa amanah yang dimaksud oleh ayat ini harus diawali dengan amanah yang paling besar yang tidak mampu diemban oleh langit, bumi dan gunung sebelumnya.

Allah swt berfirman: “Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” QS. Al Ahzab: 72.

Karena dengan terlaksananya amanah kepemimpinan dengan baik, maka akan terealisir secara otomatis amanah-amanah yang lain, baik terkait dengan amanah kepada Allah swt maupun amanah yang berhubungan dengan sesama hamba dan dengan diri sendiri.

Perintah amanah inilah yang berlaku universal kepada siapapun tanpa melihat sifat dan keadaan orang tersebut.

Maimun bin Mahran mengatakan, “Tiga hal yang harus ditunaikan, baik kepada orang yang berbakti maupun kepada pelaku maksiat: amanah, janji dan silaturahim”.

Amanah kepemimpinan menjadi prioritas dari ayat di atas dilihat dari keterkaitan antara kalimat dalam ayatnya dengan menggunakan wau athaf. Bahwa Allah swt menyebutkan perintah “untuk menetapkan hukum diantara manusia dengan adil” setelah perintah menunaikan amanah. Padahal memutuskan hukum diantara manusia merupakan diantara tugas dan kewajiban seorang pemimpin.

Ditambah lagi bahwa pada ayat selanjutnya, yaitu pada surah An-Nisa’ : 59, Allah swt menetapkan manhaj dan nilai yang harus dipegang dalam konteks kepemimpinan yaitu taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta para pemimpin yang telah ditunjuk atau dipilih dengan benar.

Allah swt menegaskan, “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya, serta Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan kepada Rasul (As-Sunnah) jika kalian benar-benar orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat”. QS. An Nisa’: 59.

Imam Ar-Razi memahami ayat di atas dengan melihat korelasi yang erat dengan ayat sebelumnya bahwa setelah Allah swt menggambarkan beberapa karakteristik orang-orang kafir dan ancaman azab untuk mereka, Allah swt kembali menyebutkan beberapa kewajiban dan tugas orang-orang beriman. Begitu juga setelah Allah swt menyebutkan pahala yang besar bagi amal sholeh yang dilakukan oleh orang yang beriman, maka Allah swt menyebutkan bahwa amal sholeh yang terbesar adalah menunaikan amanah dan berlaku adil dalam memutuskan perkara diantara manusia tanpa terkecuali.

Inilah bentuk amal sholeh yang terbesar dan harus dilakukan oleh setiap manusia sesuai dengan proporsi dan tingkatan amanah yang diembannya. Bahkan dengan tegas Rasulullah saw menafikan iman dari orang yang tidak bisa menjaga amanah dengan baik, “Tidak ada agama bagi orang yang tidak bisa menunaikan amanah”. HR. Ahmad dan Al Baihaqi.

Perihal pentingnya kepemimpinan dinyatakan tegas oleh Ibnu Taimiyah:

”Penunjukkan seseorang sebagai pemimpin merupakan salah satu tugas agama yang paling besar. Bahkan agama tidak akan tegak, begitu juga dunia tidak akan baik tanpa keberadaan pemimpin. Kemaslahatan umat manusia tidak akan terwujud kecuali dengan menata kehidupan sosial, karena sebagian mereka memerlukan sebagian yang lain. Dalam konteks ini, kehidupan sosial tidak akan berjalan dengan baik dan teratur tanpa keberadaan seorang pemimpin”.

Imam Ghazali menegaskan, “Dunia adalah ladang akhirat. Agama tidak akan sempurna kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah kembaran. Agama adalah tiang sedangkan penguasa adalah penjaganya. Bangunan tanpa tiang akan roboh dan apa yang tidak dijaga akan hilang. Keteraturan dan kedisiplinan tidak akan terwujud kecuali dengan keberadaan penguasa”.

Dalam sejarah Islam yang layak dijadikan panutan, bahwa persoalan kepemimpinan merupakan persoalan yang pertama mendapat perhatian dari para sahabat Rasul setelah Rasulullah saw wafat, adalah memilih pemimpin pengganti Rasulullah saw. Bahkan mereka mendahulukan menyelesaikan persoalan ini dari pada mengubur jasad Rasulullah saw. Kemudian para sahabat sepakat membai’at Abu Bakar dan menyerahkan kepemimpinan kepadanya.

Memang secara prinsip, Islam menginginkan agar segala sesuatu tertata dan diatur dengan baik. Islam membenci kesemrawutan dan kekacauan dalam segala hal. Sampai dalam sholat, Rasulullah saw menyuruh untuk menyamakan dan meluruskan shaf dan mendahulukan orang yang lebih baik ilmu dan bacaannya untuk menjadi imam. Bahkan dalam perjalanan biasa, Rasulullah saw berpesan untuk mengangkat pemimpin diantara mereka yang melakukan perjalanan bersama.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tidak dibenarkan tiga orang bepergian di tengah padang pasir yang tandus, kecuali jika mereka mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai amir (pemimpin)”.

Disinilah urgensi kepemimpinan dalam Islam. Kebaikan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kebaikan roda kepemimpinan yang dijalankan di dalamnya. Islam menaruh perhatian yang besar dalam persoalan kepemimpinan. Karenanya ukuran kebaikan sebuah bangsa turut ditentukan dengan kualitas dan nilai kepemimpinan yang dianutnya. Rasulullah saw menyebutkan seperti yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik ra, “Umat ini masih akan tetap terjaga kebaikannya jika selalu jujur dalam ucapannya, adil dalam keputusan hukumnya dan saling berkasih sayang diantara mereka”. Allahu A’lam.
Read more...
separador

Amanah

Dakwatuna.com

Rasulullah saw. bersabda, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (Ahmad dan Ibnu Hibban)

Amanah adalah kata yang sering dikaitkan dengan kekuasaan dan materi. Namun sesungguhnya kata amanah tidak hanya terkait dengan urusan-urusan seperti itu. Secara syar’i, amanah bermakna: menunaikan apa-apa yang dititipkan atau dipercayakan. Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah swt.: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah-amanah kepada pemiliknya; dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil.” (An-Nisa: 58)

Ayat di atas menegaskan bahwa amanah tidak melulu menyangkut urusan material dan hal-hal yang bersifat fisik. Kata-kata adalah amanah. Menunaikan hak Allah adalah amanah. Memperlakukan sesama insan secara baik adalah amanah. Ini diperkuat dengan perintah-Nya: “Dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil.” Dan keadilan dalam hukum itu merupakan salah satu amanah besar.

Itu juga diperjelas dengan sabda Rasulullah saw., “Setiap kalian adalah pemimpin dan karenanya akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Amir adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Lelaki adalah pemimpin di tengah keluarganya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan atas anak-anaknya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentangnya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang itu. Dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.” (Muttafaq ‘Alaih)

Dan Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya Kami menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Namun mereka menolak dan khawatir untuk memikulnya. Dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim lagi amat bodoh.” (Al-Ahzab 72)

Dari nash-nash Al-Qur’an dan sunnah di atas nyatalah bahwa amanah tidak hanya terkait dengan harta dan titipan benda belaka. Amanah adalah urusan besar yang seluruh semesta menolaknya dan hanya manusialah yang diberikan kesiapan untuk menerima dan memikulnya. Jika demikian, pastilah amanah adalah urusan yang terkait dengan jiwa dan akal. Amanah besar yang dapat kita rasakan dari ayat di atas adalah melaksanakan berbagai kewajiban dan menunaikannya sebagaimana mestinya.

Amanah dan Iman

Amanah adalah tuntutan iman. Dan khianat adalah salah satu ciri kekafiran. Sabda Rasulullah saw. sebagaimana disebutkan di atas menegaskan hal itu, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (Ahmad dan Ibnu Hibban)

Barang siapa yang hatinya kehilangan sifat amanah, maka ia akan menjadi orang yang mudah berdusta dan khianat. Dan siapa yang mempunyai sifat dusta dan khianat, dia berada dalam barisan orang-orang munafik. Disia-siakannya amanah disebutkan oleh Rasulullah saw. sebagai salah satu ciri datangnya kiamat. Sebagaimana disampaikan Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya–, Rasulullah saw. bersabda, “Jika amanah diabaikan maka tunggulah kiamat.” Sahabat bertanya, “Bagaimanakah amanah itu disia-siakan, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran.” (Al-Bukhari)

Macam-macam Amanah

Pertama, amanah fitrah. Dalam fitrah ada amanah. Allah menjadikan fitrah manusia senantiasa cenderung kepada tauhid, kebenaran, dan kebaikan. Karenanya, fitrah selaras betul dengan aturan Allah yang berlaku di alam semesta. Allah swt. berfirman: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul, (Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Al-A’raf: 172)

Akan tetapi adanya fitrah bukanlah jaminan bahwa setiap orang akan selalu berada dalam kebenaran dan kebaikan. Sebab fitrah bisa saja terselimuti kepekatan hawa nafsu dan penyakit-penyakit jiwa (hati). Untuk itulah manusia harus memperjuangkan amanah fitrah tersebut agar fitrah tersebut tetap menjadi kekuatan dalam menegakkan kebenaran.

Kedua, amanah taklif syar’i (amanah yang diembankan oleh syari’at). Allah swt. telah menjadikan ketaatan terhadap syariatnya sebagai batu ujian kehambaan seseorang kepada-Nya. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan fara-idh (kewajiban-kewajiban), maka janganlah kalian mengabaikannya; menentukan batasan-batasan (hukum), maka janganlah kalian melanggarnya; dan mendiamkan beberapa hal karena kasih sayang kepada kalian dan bukan karena lupa.” (hadits shahih)

Ketiga, amanah menjadi bukti keindahan Islam. Setiap muslim mendapat amanah untuk menampilkan kebaikan dan kebenaran Islam dalam dirinya. Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang menggariskan sunnah yang baik maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang rang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun.” (Hadits shahih)

Keempat, amanah dakwah. Selain melaksanakan ajaran Islam, seorang muslim memikul amanah untuk mendakwahkan (menyeru) manusia kepada Islam itu. Seorang muslim bukanlah orang yang merasa puas dengan keshalihan dirinya sendiri. Ia akan terus berusaha untuk menyebarkan hidayah Allah kepada segenap manusia. Amanah ini tertuang dalam ayat-Nya: “Serulah ke jalan Rabbmu dengan hikmah dan nasihat yang baik.” (An-Nahl: 125)

Rasulullah saw. juga bersabda, “Jika Allah memberi petunjuk kepada seseorang dengan usaha Anda, maka hal itu pahalanya bagi Anda lebih dibandingkan dengan dunia dan segala isinya.” (al-hadits)

Kelima, amanah untuk mengukuhkan kalimatullah di muka bumi. Tujuannya agar manusia tunduk hanya kepada Allah swt. dalam segala aspek kehidupannya. Tentang amanah yang satu ini, Allah swt. menegaskan: “Allah telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya.” (Asy-Syura: 13)

Keenam, amanah tafaqquh fiddin (mendalami agama). Untuk dapat menunaikan kewajiban, seorang muslim haruslah memahami Islam. “Tidaklah sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.” (At-Taubah: 122)

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)
Read more...
separador

Menjaga Amanah

Dakwatuna.com--“Wahai orang-orang yang beriman, ruku dan sujudlah kamu serta beribadahlah kepada Rabb kamu dan kerjakanlah segala kebajikan, agar kalian mendapatkan kemenangan.”

Sebagai munthalaq kita ambil nilai-nilai rabbani dalam al Qur’an yang terkait dengan muwashafat (ciri) dan khashaish (karakteristik) seorang mukmin. Disebutkan dalam surat Al Mukmin, bahwa salah satu ciri orang mukmin adalah mushallun (menegakkan shalat). Kemudian yang berkaitan erat dengan komitmen kita berdakwah dan berjihad adalah: “Dan orang-orang yang memenuhi amanat dan janji mereka…”.

Hal itu harus menjadi titik tolak kita, bahwa salah satu karakteristik untuk membangun masyarakat muslimin adalah orang-orang yang selalu memelihara amanah yang diberikan Allah kepada manusia, yaitu wazhifah ibadah dan khilafah. Kewajiban itu telah ditawarkan sebelumnya kepada langit dan bumi, tapi mereka semua menolaknya, kemudian manusia yang siap menerima. Semoga kita tidak termasuk apa yang disebut Allah dalam akhir ayat: “Sesungguhnya manusia dalam keadaan zalim dan bodoh”.

Kita harus betul-betul menjaga amanah. Penerimaan manusia atas amanah telah dikokohkan dengan ahd (janji) dan aqd (komitmen) yang dilakukan bersama-sama dan berulang-ulang dalam bentuk ahd al intimai al islami dan ahd al intimai al jamai yang dilaksanakan dengan beragam wazhifah, posisi dan penugasan.

Harus kita sadari pula betapa amanah itu akan dipertangungjawabkan, “Sesungguhnya setiap janji akan dimintai pertanggungjawaban”. Karena itu tepatilah janji. Apabila Allah menyebutkan ikatan pernikahan sebagai basis masyarakat islami dengan istilah mitsaqan ghalizhan, maka ahd untuk dakwah dan upaya menegakkan khilafah sudah tentu lebih berat lagi.

Dalam al Qur’an, Allah bukan saja memberikan janji pahala yang besar, apabila kita dapat melaksanakan dan memenuhi amanah, tetapi juga memperingatkan kita dengan azab, apabila kita tidak menepatinya. Karena itu kita harus berupaya agar termasuk orang yang menepati janji.

“Dan orang-orang yang menegakkan kesaksian (syahadat)-nya.” Selanjutnya kita harus menegakkan syahadah rabbaniyah dan syahadah amaliyah islamiyah. Kita membenarkan universalitas (syumuliyah) dan integralitas (takamuliyah) ajaran Islam sebagai wujud syahadah dakwah rabbaniyah. Kita berupaya mengambil pancaran nilai-nilai rabbani dari Al Qur’an, agar langkah-langkah dakwah tetap berada dalam khuthuwat ar rabbaniyah dan khuthuwat al Islam.

Dengan menegakkan syahadah akan amaliyah Islam, kita mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Islam yang selama ini selalu disudutkan dengan isu-isu kekerasan dan kerusakan harus kita bersihkan, dan kita buktikan bahwa Islam benar-benar rahmat bagi semua golongan. Dengan tegaknya Islam, orang kafir sekalipun akan terlindungi oleh rahmat Islam, kecuali orang-orang yang zalim dan memang dimusuhi oleh semua orang.

Dengan semangat ibadah dan berjamaah, kita pun akan dapat menanggulangi segala macam persoalan yang kita hadapi saat ini. Dalam berjamaah, kita dituntut untuk bersabar atas kekurangan yang mungkin kita temui pada saudara kita, sebab sesungguhnya kita tak akan pernah mendapatkan seorang teman tanpa kekurangan sedikitpun, dan sebenarnya kita sendiri memiliki banyak kekurangan.

Seorang penyair pernah berkata; “Barangsiapa mencari saudara yang tak memiliki cacat, maka ia akan hidup sendirian tidak punya kawan”. Penyair lain juga mengatakan: “Perhatikanlah saudaramu…perhatikanlah saudaramu. Sesungguhnya orang yang tidak memiliki saudara (kawan) adalah laksana seorang yang akan masuk ke medan tempur tanpa senjata”.

Modal utama kita ber-amal jama’i adalah berjalannya proses: tawashau bil haq, wa bis shabr, wa bil marhamah. Saya berharap dengan menjalankan proses ini dengan sebaik-baiknya, sehingga nanti kita bisa tampil sebagai “khalqan akhar” (makhluq baru) yang lebih berkualitas.
Read more...
separador

Total Pageviews

Followers

Entri Populer